Saat ini project finance merupakan salah satu sumber penting dalam pembiayaan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Pengalaman krisis ekonomi di Asia akhir 1990an menunjukkan bahwa banyak terjadi sengketa terkait kontrak project finance akibat berubahan keadaan. Belajar dari pengalaman ini, Magister Ilmu Hukum (MIH) UGM Jakarta menyelenggarakan Open Lecture bertajuk: “Hidden Problems of Non-Recource Project Finance” pada Rabu (14/03/2018) kemarin. Dalam kuliah umum ini, MIH Jakarta mengundang Prof. David K. Linnan dari School of Law, the University of South Carolina, Amerika Serikat dan dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswa MIH Jakarta Konsentrasi ukum Bisnis.
Dalam pemaparannya, Prof. Linnan, mengajak mahasiswa melihat kembali doktrin-doktrin yang mengatur hukum kontrak. Beliau menyadari meskipun secara klasik terdapat dua doktrin tentang kontrak –pacta sund servanda dan rebus sic stantibus – ketika terjadi perubahan keadaan yang mempengaruhi jalannya kontrak, ada perbedaan pandangan di para ahli hukum yang dipengaruhi oleh tradisi hukum yang dianut, yakni tradisi Common Law atau Civil Law. Dalam tradisi Common Law, terdapat doktrin Impossibility dan Frustration of Contract yang mengatur perubahan keadaan, sedangkan di tradisi Civil law terdapat doktrin Improvision (Hukum Francis) dan Aenderung der Geschaeftsgrundlage (Hukum Jerman)
Di Indonesia sendiri, ketika terjadi perubahan kondisi argumentasi hukum yang dibangun adalah adanya keadaan memaksa (force majeure). Perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah juga sering kali di tataran praktek dinilai sebagai keadaan memaksa sehingga pihak dalam kontrak tidak perlu menjalankan kewajibannya. Padahal, secara klasik, pemahaman keadaan memaksa ini merupakan kejadian yang di luar jangkauan manusia yang biasa dikenal dengan ‘the Act of God’. Permasalahan dapat terjadi dalam kontrak bisnis yang melibatkan BUMN apabila pihak BUMN tersebut memiliki kedekatan dengan kementerian dan mampu mendorong kementerian untuk perubahan kebijakannya sehingga menguntungkan mereka. Oleh karena itu, dalam menjawb tantangan ini, mahasiswa MIH Jakarta sebagai praktisi hukum perlu melihat kembali dan memahami doktrin-doktrin klasik hukum terkait kewajiban kontrak tersebut.